Tiga Belas Isu Strategis Migas
- Details
- Published: Monday, 30 November -0001 00:00
- Written by Yogi Kurnia Siregar
Bali, Dirjen Migas Kementerian ESDM IGN Wiratmaja Puja dalam acara Forum Komunikasi Keselamatan Migas 2016 di Hotel Inaya Putri Bali, akhir pekan lalu, memaparkan 13 isu strategis migas, antara lain East Natuna, Masela, Mahakam, pembangunan kilang minyak baru hingga Museum Gawitra.
Wiratmaja mengatakan, Blok East Natuna perlu dipercepat pengembangannya karena memiliki cadangan yang cukup besar. Selain itu, hal ini perlu dilakukan untuk menjaga kedaulatan negara karena dikhawatirkan ada negara lain yang menarik batas negara di luar wilayahnya jika kawasan Natuna tidak dikembangkan. Agar cadangan minyak Blok East Natuna dapat segera diproduksikan, maka Pemerintah menargetkan kontrak kerja sama dapat ditandatangani pada September mendatang. “Kita akan memproduksikan minyaknya dulu, sedangkan gas yang CO2-nya banyak akan dikembangkan selanjutnya,” kata Wirat.
Selanjutnya, kilang Blok Masela telah ditetapkan Presiden akan dibangun di darat. Cadangan gas Lapangan Abadi diperkirakan sebesar 10.73 TCF dan rencana produksinya 1.200 MMSCFD. Kontrak kerja sama WK Masela ditandatanganu pada 16 November 1998. Lapangan gas Abadi berlokasi di Laut Arafura dengan kedalaman laut antara 400 meter sampai dengan 800 meter.
“Kita (Pemerintah) butuh masukan bagaimana mengembangkan (Masela) dan bagaimana mempercepatnya karena berdasarkan usulan awal, waktunya lama sekali. Kita targetkan FID 2018, sebelumnya sekitar tahun 2022,” ujar Wirat.
Isu strategis lainnya adalah pengembangan WK Mahakam. Kontrak kerja sama WK ini ditandatangani 6 Oktober 1966, telah diperpanjang dan berakhir 31 Desember 2017. PT Pertamina ditugaskan sebagai pengelola berikutnya, terhitung 1 Januari 2018, share down ke Total dan Inpex maksimal 30%.
IDD Bangka dan Jangkrik juga menjadi isu strategis di hulu migas. Cadangan gas IDD Bangka diperkirakan 100,41 BSCF. Peak produksinya diperkirakan sekitar 110 MMSCFD. Cadangan gas Gendalo diperkirakan 882,45 BSCF dan Gehem 697,99 BSCF. Sementara untuk IDD Jangkrik yang dioperatori ENI Muara Bakau B.V., saat ini floating processing unit (FPU) sudah berada di Pulau Karimun (70%). Targetnya pada Oktober telah selesai dan dimobilisasi ke lokasi lapangan. Hingga saat ini telah dilakukan pengeboran 10 sumur dan rencana produksinya pada Juli 2017.
Isu ke lima, insentif eksplorasi laut dalam. Pemerintah telah menyiapkan alternatif perubahan ketentuan fiskal, antara lain terkait kontrak,cost recovery, pajak dan komitmen eksplorasi. “Dibandingkan negara lain, terlihat Indonesia bagian negaranya besar dan IRR rendah sekali. Ini tantangan bagi kita bagaimana bisa membuat posisinya naik dibandingkan negara-negara lain di dunia. Bagaimana membuat investor tertarik berinvestasi laut dalam ke Indonesia. Apakah perlu regulasi baru, pemberian insentif dan sebagainya. Kita memerlukan masukan para ahli,” tambahnya.
Lebih lanjut Wirat memaparkan, dari sisi penemuan migas, di Indonesia dibutuhkan waktu rata-rata 15 tahun mulai dari awal hingga produksi. Padahal di Malaysia, membutuhkan waktu 7 tahun dan Brunei Darussalam hanya 5 tahun.
Pipa jumper WNTS-Pemping merupakan isu strategis ke enam. Pemerintah telah menugaskan PT PGN untuk membangun pipa sepanjang 5 km agar gas dari Natuna bisa dialirkan ke Batam. Pipa ini berkapasitas 120 MMSCFD.
Pembangunan kilang minyak baru dan peningkatan kapasitas kilang yang telah ada, direncanakan berjumlah 6 proyek. Kilang minyak Tuban diharapkan beroperasi tahun 2021 dan Kilang Bontang tahun 2023. PLBC Cilacap ditargetkan 2018 dan RDMP Balikpapan 2019. Sedangkan untuk tahun 2022, ditargetkan dapat rampung RDMP Cilacap. Sedangkan RDMP Dumai dan Balongan diharapkan selesai tahun 2023.
Isu strategis lainnya yaitu rencana pembangunan kilang minyak mini di 8 lokasi yaitu Sumatera Utara, Selat Panjang Malaka, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara dan Maluku.
RUU Migas pada saat ini masih merupakan inisiatif DPR. Namun Pemerintah tetap berdiskusi dengan para ahli. Salah satu kelemahan UU Migas Nomor 22 tahun 2001 adalah tidak menyentuh industri penunjang. Pemerintah mengusulkan agar pada UU yang baru nanti, diatur secara tegas mengenai industri penunjang migas.
Terkait pembangunan infrastruktur, Pemerintah dengan menggunakan dana APBN telah membangunan infastruktur untuk masyarakat. Misalnya, memberikan konverter kit untuk nelayan, membangun SPBG dan jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga. Berdasarkanroadmap hingga 15 tahun mendatang, dibutuhkan US$ 48,2 miliar untuk membangun infrastruktur migas.
Isu selanjutnya adalah pembangunan cadangan energi. Pada saat ini, Indonesia tidak memiliki cadangan penyangga energi. Hal ini membuat saat harga minyak rendah, Indonesia tidak dapat menyimpan BBM sebagai tabungan. Sebaliknya saat harga minyak tinggi, Indonesia harus menanggung beban subsidi BBM yang membengkak. Kenyataan ini merupakan tantangan yang harus segera diatasi.
Terakhir adalah keberadaan Museum Gawitra yang kini tidak beroperasi karena bangunannya rusak. Padahal, museum ini sangat penting sebagai sarana belajar untuk anak-anak dan mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa. (TW)
sumber : migas.esdm.go.id