Kewenangan Luhut sebagai Plt Menteri ESDM Dipertanyakan Walhi

JAKARTA - Kewenangan Pelaksana tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan terkait rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 1 tahun 2014 dipertanyakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Pasalnya menurut Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Khalisah Khalid mengatakan Luhut tidak punya hak membuat keputusan, lantaran hanya bertugas sebagai pejabat pengganti.

"Menjadi pertanyaan, apakah menteri yang menjabat sebagai Plt menggantikan Menteri ESDM, memiliki kewenangan untuk membuat suatu kebijakan strategis. Apakah Plt bisa mengeluarkan satu kebijakan yang memengaruhi hajat hidup orang banyak?" kata Khalid, di kantor Walhi, Jakarta, Selasa (11/10/2016).

Sebelumnya, dijelaskan bahwa Walhi dengan tegas menolak rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara yang diusulkan oleh Luhut. Disarankan rencana revisi PP tersebut harus ditunda hingga adanya Menteri ESDM yang baru.

Tak hanya itu, Khalid menerangkan rencana Revisi PP 1 tahun 2014 ini disebut telah berbenturan dengan Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara (UU Minerba). "Itu ada khususnya di pasal 102 dan 103 yang mewajibkan perusahaan mineral untuk melakukan pengolahan dan pemurnian (smelter) hasil penambangan dalam negeri," sambungnya

Dia juga menambahkan langkah ini disinyalir termasuk, pelanggaran atas pasal 170 UU Minerba yang mewajibkan seluruh pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba di undangkan. "Ini sebetulnya harus dirombak. Karena kalau tidak satu sama lain saling berbenturan, berpengaruh terhadap kedaulatan Undang-undang (UU)," pungkasnya.

(akr)

sumber : sindonews.com

Luhut Beri Deadline PLN Bangun Pembangkit Listrik EBT

JAKARTA - Minimnya pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan (EBT), membuat Plt. Menteri ESDM Luhut Binsar Pandjaitan meminta PLN segera membangun pembangkit listrik EBT dengan kapasitas hingga 5.000 megawatt (MW). Luhut bahkan memberi deadline agar pembangunan tersebut dapat selesai hingga tahun 2019.

Dia menginginkan, BUMN kelistrikan ini dapat membangun pembangkit listrik dari tenaga matahari, angin ataupun air. Mantan Kepala Staf Kepresidenan ini meyakini bahwa PLN dapat mengerjakan hal tersebut.

"Saya mau supaya penggunaan EBT itu segera dieksekusi. Ada 5.000 MW yang harus kita kerjakan, jadi ada tenaga matahari, angin, air supaya dikerjakan. Karena kita baru 10 MW EBT yang memakai angin dan tenaga matahari. Padahal orang lain sudah 150 MW, 1.000 MW, bahkan 30.000 MW. Dan saya rasa kita bisa," katanya di Gedung BPPT, Jakarta, Rabu (12/10/2016) malam.

Luhut berharap, pembangunan pembangkit listrik EBT ini dapat dimulai tahun depan dan selesai pada 2019. Untuk mencapai target, dirinya akan segera memangkas peraturan terkait geothermal agar pembangunannya dapat segera selesai.

"Jadi dengan memotong lagi peraturan misalnya geothermal, itu satu meja bisa sampai 75 hari. Saya mau potong bikin sekian hari. Jadi bikinnya itu jangan sequencial tapi bikin paralel seperti Masela. Masela bisa percepat empat tahun kenapa ini enggak bisa," tandasnya.



(Ven)

sumber:www.sindonews.com

Harga Gas Industri Bakal Turun Per 1 Januari 2017

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan harga gas industri mulai turun pada awal tahun depan. Penurunan ini harapkan akan membawa angin segar bagi sektor industri yang menggunakan gas sebagai sumber energi.

Direktur Industri Kimia Dasar Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam mengatakan, penurunan harga gas mulai berlaku pada 1 Januari 2017. Nanti harga gas akan turun menjadi US$ 6 per MMBTU sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Insya Allah mulai turun 1 Januari 2017," ujar dia di kawasan Kebon Sirih, Jakarta, Minggu (9/10/2016).

Khayam mengungkapkan, saat ini ada sekitar 330 industri yang menggunakan gas sebagai sumber energi untuk kegiatan produksinya. Dari jumlah industri tersebut, mengkonsumsi gas sebesar 2.200 MMCFD.

"Sektor industri ada 330 perusahaan menggunakan 2.200 MMCFD. Jadi kita kalau dirata-ratakan semua sektor itu harga gas sekitar US$ 9,5 per MMBTU. Kita berharap angka itu seharusnya menyesuaikan kondisi penurunan harga minyak," jelas dia.

Khayam juga memastikan penurunan harga gas tersebut tidak akan merugikan kontraktor yang memproduksi gas di sisi hulu. Agar tidak ada kerugian, nantinya penurunan harga gas ini akan dikoordinasikan terus dengan Kementerian ‎Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Kita hargai KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) agar tetap eksis. Jadi tidak boleh mereka rugi," tandas dia. (Dny/Gdn)

sumber : www.liputan6.com

Kebijakan Impor Tak Bisa Turunkan Harga Gas

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus mencari cara agar bisa menekan harga gas industri hingga di bawah angka US$ 6 per MMBTU. Langkah menekan harga gas tersebut untuk mendorong penurunan biaya produksi. Salah satu wacana yang muncul untuk menekan harga gas adalah impor.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmaja mengatakan, sebenarnya ada beberapa cara yang bisa menjadi pilihan untuk harga gas di tangan konsumen. Cara tersebut bisa di hulu maupun di hilir atau kombinasi keduanya.

"Jadi banyak opsi untuk menurunkan harga gas. Dari hulu sampai hilir. Bisa midstream dan mix dari impor. Tapi kita harus lihat data secara detil. Ide itu bagus semua," kataWiratmaja, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Senin (10/10/2016).

Namun, Wiratmaja melanjutkan, harga gas yang sudah diubah menjadi gas alam cair atau Liquefied Natural Gas‎ (LNG) di pasar internasional sama dengan gas Indonesia sekitar US$ 4,5 per MMBTU. tetapi memang biaya transportasi untuk mendatang gas tersebut ke Indonesia juga cukup besar sehingga ada biaya tambahan.

"Harga gas LNG itu berlaku internasional mau beli dimana pun harganya enggak jauh beda. Bilang beli dari Qatar, harganya sedikit lebih murah, plus ongkos transportasi sampai ke sini, ujung-ujungnya tidak jauh beda," jelas Wiratmaja.

Dengan perhitungan tersebut gas impor tidak bisa membantu banyak untuk menurunkan harga gas.

Wirat menyebutkan pilihan lain untuk menekan harga gas ditingkat konsumen adalah melakukan efisiensi pada usaha hulu, dengan memangkas biaya operasi, dan bagian‎ negara. Sedangkan pada sisi penyaluran sedang dikaji penetapan formula harga gas baru dan penertiban penjual gas berlapis.

"Itu sedang kami kalkulasi, kita bahas bersama. Opsi-opsi itu musti kami hitung. Bisa menurunkan atau tidak," tutup Wiratmaja. (Pew/Gdn)

sumber : www.liputan6.com
Templates Joomla 3.3 BIGtheme.net